Rabu, 26 Februari 2014

Studi Sosial dan Ilmu Sosial

ngudi ngilmu

4 Mei 2011 pukul 22:11
Studi Sosial dan Ilmu Sosial
Oleh; Ahmad Izzul Ito’ S.Pd
  1. 1.      Perbedaan Ilmu Social dan Studi Sosial.
Manusia dalam hidup bermasyarakat, baik secara bersamaan ataupun bergantian akan mengungkapkan berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek itu terdiri dari interaksi social, budaya, kebutuhan materi, pendidikan, norma, sikap dan reaksi kejiwaan, geografi, dan lain sebagainya. Aspek-aspek inilah yang menghasilkan ilmu pengetahuan social, seperti Sosiologi, Agama, Antropologi, Ilmu Ekonomi, Ilmu Pendidikan, Ilmu Hukum, Psichologi Sosial, Geografi dan lain-lain. Menurut Mac. Kenzle, New York, 1968 :7, “Social sciences are all the academic disiplines whice men in their social contact”, yang artinya ‘Ilmu-ilmu social dapat diartikan sebagai semua bidang ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam konteks sosialnya sebagai anggota masyarakat’. Adapun penjelasan tentang ilmu-ilmu social bisa dipelajari di bab lain, berikut uraian tentang studi social sebagai salah satu bidang ilmu pengetahuan social.
Studi Sosial dapat diartikan sebagai studi mengenai interelasi ilmu-ilmu social dalam menelaah gejala dan masalah social yang terjadi didalam lingkungan masyarakat. Adapun secara praktisnya, dapat diartikan sebagai usaha mengadakan interelasi antar ilmu-ilmu social dalam mengkaji gejala dan masalah social. Interelasi ilmu-ilmu social, yaitu hubungan disiplin akademik antar ilmu-ilmu social yang digunakan untuk menelaah gejala dan masalah social, karena dalam menelaah gejala dan masalah social, kita tidak akan dapat mengungkapkan gejala dan masalah social dengan hanya menggunakan satu atau dua bidang ilmu pengetahuan social saja.
Dalam hal ini gejala dan masalah social dimungkinkan timbul karena berbagai aspek dan factor kehidupan social manusia. Karena kita menyadari bahwa kehidupan ini bukan sebagai suatu hal yang kebetulan saja atau tanpa perencanaan yang memadai dari Sang Pencipta. Sebagaimana terjadinya siang-malam yang membuktikan bahwa proses penciptaan makhluk serta kehidupannya adalah suatu hal sangat menakjubkan yang tidak mungkin hanya sebuah kebetulan ataupun sekedar perhitungan untung dan rugi. Walaupun dinamika kehidupan sebagai bentuk kehidupan yang sesungguhnya, namun kita menyadari bahwa kehidupan ini tercipta diatas keseimbangan, keselarasan, tepat serta begitu mengagumkan, sehingga lebah yang tidak punya akalpun bisa menyadari bahwa ia bisa menghasilkan  madu yang sangat berguna.
Jadi dalam kerangka kerja studi social, kita dituntut menghubungkan serta berusaha membangun interelasi berbagai bidang ilmu pengetahuan social sesuai dengan gejala dan masalah yang sedang kita kaji. Misalnya kita mengkaji masalah pengangguran, kalau kita mengungkap dari sisi ilmu ekonomi saja, maka akan nampak kekurangan serta kelemahan ilmu ekonomi dalam bidang lain, seperti hokum, geografi dan sebagainya, padahal dalam suatu masyarakat tidak bisa lepas dari berbagai aspek social, seperti hokum, geografi, psikologi, dan sebagainya. Sehingga studi social tanpa mempertimbangkan ilmu pengetahuan social lainya  serta membangun interelasi antar ilmu pengetahuan social akan mustahil mengungkap gejala dan memecahkan masalah social secara komprehensif.
Pengertian gejala social, yaitu gejala yang terjadi dimasyarakat yang ditimbulkan oleh adanya kondisi – peristiwa – tingkah-laku – sikap manusia sebagai makhluk social yang menjadi suatu ketetapan atau bentuk baru yang komplek, yang menimbulkan dampak buruk secara luas jika tetap dibiarkan, kita tidak bisa mencegah timbulnya dalam skala kecil (perorangan), namun kita harus mengantisipasi meluasnya (sosial) gejala tersebut, sehingga tidak menimbulkan dampak social yang tidak diinginkan. Gejala social ini merupakan tanda-tanda pengungkapan aspek-aspek kehidupan social manusia dimasyarakat yang implikasinya sangat merugikan bagi kelangsungan masyarakat tersebut. Gejala-gejala tadi selain dapat kita amati secara langsung, dapat pula kita telaah sebab dan akibatnya.
Gejala-gejala social itu dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kriminal remaja, penganguran, sampah, kemacetan lalu-lintas, dan lain-lain adalah suatu hal yang lumrah jika hanya sekali atau dua kali saja atau dilakukan oleh satu atau dua orang saja, tetapi akan berakibat fatal jika terjadi sebagai wabah atau menyeluruh dalam lingkungan tersebut. Dalam hal ini gejala sekecil apapun harus diantisipasi karena secara langsung maupun tidak, sebuah perilaku atau perbuatan akan mengakibatkan dampak positif atau negative, terutama bagi si-pelaku sendiri maupun lingkungan masyarakatnya.
Adapun masalah social, yaitu situasi yang telah menjadi warisan turun temurun yang memerlukan perbaikan atau pemecahan, (1) baik yang ditimbulkan oleh kondisi masyarakat atau lingkungan social, (2) maupun yang mengandung penerapan kekuatan social dan cara-cara social untuk mengatasinya, “Social problem is a situation inherently requiring ameliorative treatment, which eithet (1) arises out of the conditions of society or the social environment, or (2) calls for the application of social forces and social means for its environment”. Jadi masalah social itu merupakan situasi yang tidak menentu yang mengandung persoalan dimasyarakat, yang ditimbulkan oleh variable-variable social yang menuntut pemecahan dengan kekuatan social. Masalah social ini biasanya merupakan wariasan masa-masa lampau, sehingga dapat dikatakan bahwa pemecahan yang telah dilakukan terhadapnya hanya bersifat sementara atau tidak bisa memecahkan masalah sampai tuntas.
Masalah social sebagai bentuk positive maupun negative suatu lingkungan social atau masyarakat yang memberikan dampak langsung pada aktivitas kehidupan atau manusia dalam lingkungan tersebut seperti pencemaran lingkungan, kekeringan, tingkat kemiskinan, tingkat penganguran, buta huruf, wabah penyakit dan lain-lain. Jadi masalah social menitik beratkan pada bentuk lingkungan alam sekitar makhluk hidup sebagai tempat hidup manusia, akan tetapi kalau gejala social menitik beratkan manusia sebagai pelaku social atau perilaku manusia pada lingkungannya.
Walaupun pada kenyataannya diantara manusia dan lingkungannya selalu berhubungan timbal-balik, interaksi antara manusia satu dengan manusia lainya dan antara manusia dan alam sekitarnya. Dalam hal ini tidak untuk menentukan siapa yang salah tetapi lebih mengusahakah bagaimanakah bentuk hubungan antara manusia dan lingkungannya lebih bisa bersahabat bahkan saling melindungi atau berdampak positive bagi kelangsungan kehidupan manusia sebagai individu maupun makhluk social, serta kelestarian lingkungan alam sebagai warisan untuk generasi penerus dari peradaban manusia bisa diwujudkan, karena segala bentuk interaksi maupun perilaku kita pada sesama dan alam sekitar belum tentu berdampak langsung, namun suatu saat pasti kita akan menemui akibat usaha yang kita lakukan.
Disinilah banyak pembahasan permasalahan bisa ketengahkan, bagaiamanakah manusia berinteraksi pada sesamanya, apakah manusia mampu menjaga alam sekitar untuk kelangsungan hidupnya atau alam akan mengungkapkan kemarahan. Pendek kata, misalnya kita tidak bisa mencegah banjir tetapi eksploitasi manusia pada lingkungan yang berlebihan patut dipertanyakan, krisis ekonomi terkait adanya monopoli perdagangan dan praktik politik dumping, stagnasi kekuasaan menimbulkan dampak korupsi, kolusi dan nepotisme serta fundamental krisis multidimensi dan sebagainya.
Berdasarkan uraian diatas, pemecahan masalah social memerlukan kekuatan social dan cara-cara social, sebagai gabungan antara studi social dan ilmu-ilmu social. Hal ini sebagai bukti gambaran tentang kompleknya permasalahan manusia serta ruang lingkup socialnya, sehingga suatu permasalahan social manusia tidak dapat dipecahkan oleh kekuatan individu atau disederhanakan sedemikian mungkin. Pemecahan permasalahan social menuntut pemikiran dan kerja sama berbagai pihak, yang berkenaan dengan berbagai bidang keahlian, maupun tingkat kelembagaan yang ada. Disinilah pentingnya kedudukan studi social dengan segala bentuk serta berbagai metode yang berkenaan dengannya, untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
  1. 2.      Ruang lingkup Studi social.
Seperti uraian diatas, studi social bukan merupakan bidang ilmiah tersendiri, melainkan lebih merupakan gabungan berbagai bidang ilmiah ilmu-ilmu social. Sesuai dengan hakekat manusia, ruang lingkup studi social tidak berbeda dengan ruang lingkup ilmu-ilmu social. Ruang lingkup tersebut adalah manusia dalam konteks sosialnya. Manusia dalam konteks social ini mengungkapkan gejala dan masalah social sebagai perwujudan dari interelasi aspek-aspek kehidupan manusia.
Pada pelaksanaan dan kerangka kerjanya, studi social menelaah gejala dan masalah social tadi untuk mencari alternative pemecahannya dan untuk mengembangkan kehidupan ketaraf yang lebih tinggi. Jadi jika diuraiakan maka ruang lingkup studi social dapat dikemukakan sebagai beriktu:
a)      Manusia dalam konteks social dengan segala aspek kehidupanya.
b)      Gejala dan masalah social yang terjadi akibat dari adanya interelasi aspek kehidupan social.
c)      Penelahaan dan pengkajian sebab-sebab terjadinya gejala dan masalah social.
d)     Penyusunan alternative pemecahan masalah social sesuai dengan factor-faktor penyebaranya.
e)      Penyusunan alternative pengembangan kehidupan social ketaraf yang lebih tinggi dengan memperhatikan kualitas lingkungan yang menunjang kehidupan yang bersangkutan.
  1. 3.      Esensi Studi social.
Kehidupan manusia dengan segala aspeknya selalu mengalami perubahan. Perubahan inilah yang menyebabkan kehidupan manusia tersebut bertambah komplek. Secara langsung maupun tidak, kehidupan yang bertambah komplek ini disebabkan oleh relasi social yang semakin intensif, dengan kemajuan teknologi komunikasi, baik komunikasi fisik maupun komunikasi social yang bergerak melalui sarana dan berbagai media massa lainya.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pertumbuhan demografi penduduk di permukaan bumi yang terus berlangsung, mendorong perkembangan kebutuhan manusia, baik kebutuhan social ekonominya maupun kebutuhan social budayanya. Pemenuhan kebutuhan yang tidak seimbang dengan sumberdaya yang menjaminnya menimbulkan persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh kekuatan manusia secara individual. Persoalan tadi atau lebih tepatnya masalah tadi akan melibatkan manusia sebagai pelengkap pelaku dan juga sebagai pelengkap penderitanya. Seperti yang telah dikemukakan sub bab dia atas, masalah-masalah tersebut kita sebut masalah social.
Untuk dapat menyadari dan menghayati masalah social yang terjadi dimasyarakat, kita harus mempertajam kesadaran dan penghayatan kita masing-masing. Usaha ini dapat kita lakukan melalui observasi, penelitian, latihan dan pengamatan terhadap gejala dan masalah social yang terjadi dimasyarakat tempat kita hidup, dalam bentuk studi social. Dengan mengadakan penelitian dan studi social ini, kita akan dapat mengembangkan serta menghayati masalah-masalah social yang terjadi dalam kehidupan kita, baik yang ditimbulkan oleh orang lain maupun yang disebabkan oleh perbuatan dan tingkah laku kita sendiri. Melalui penghayatan ini, kita akan mengetahui factor-faktor yang menyebabkan terjadinya masalah tadi. Setelah kita mengetahui apa penyebabnya, setidaknya kita akan menghindarkan dari bahaya yang mungkin mengancam kita dan lebih jauh dari pada itu, kita akan dapat menghidarkan diri dari tingkah laku serta perbuatan yang menyebabkan terjadinya masalah social.
Masalah social sebagai produk manusia, tidak akan mungkin lenyap selama manusia masih hidup dipermukaan bumi. Oleh karena itu, penghayatan serta penelitian kita terhadap gejala dan masalah sosial harus kita pertajam dan kembangkan secara terus-menerus. Dalam hal ini, kedudukan studi social yang merupakan salah satu cara mempelajari dan mengahayati gejala dan masalah social akan semakin bertambah penting. Sadar ataupun tidak, manusia sebagai anggota masyarakat dapat berperan ganda (homo duplex) pada terjadinya gejala dan masalah social. Manusia berlaku sebagai subyek penyebab terjadinya masalah social dan pada saat yang sama ia juga dapat menjadi obyek penderitanya. Oleh karena itu setiap anggota masyarkat sudah dapat dipastikan tidak dapat netral dari kedua peran tersebut.
Dengan demikian, setiap orang sebagai anggota masyarakat berkepentingan untuk melaksanakan studi social, yang memungkinkan sesuai dengan dengan kemampuan, kedudukan, dan profesinya masing-masing dimasyarakt. Setidaknya kepentingan studi social ini mulai dari ibu rumah tangga sampai kepada kepala Negara. Dalam hal ini,taraf untuk melakukan studi social diantara yang berpendidikan rendah dengan yang berpendidikan menengah tidak sama, begitu juga yang berpendidikan tinggi, kualitas serta kualitas dan ruang lingkup studi social semakin berbeda-beda.
 Ketimpangan-ketimpangan dimasyarakat, seperti pengangguran, prostitusi, kriminalitas, anak jalanan, kelaparan, gizi buruk, wabah penyakit dan sebagainya, sebagai akibat korupsi, kolusi, nepotisme, kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan pembangunan dan lain-lain sebagainya, seharusnya mendapat perhatian kita semua. Sebagai contohnya, dalam hal kebijakan ekonomi pemerintah dengan ekonomi makro dan mikronya, dengan pembangunan sarana fisik yang tidak disertai penelitian kondisi sosialnya, akan menimbulkan ketimpangan social ekonomi, setidaknya statistic makro ekonomi naik sangat signifikan namun statistic kemiskinan dan penganguran dikawasan perdesaan juga ikut melonjak naik.
Setiap orang yang terlibat kedalam ketimpangan-ketimpang tadi, baik secara langsung maupun tidak harus menaruh perhatian kepada hal itu. Untuk merealisasikan esensi studi social yang demikian rumit itu, berbagai cara dan usaha dapat kita lakukan. Diantara usaha-usaha itu, yaitu peningkatan mutu pendidikan serta penyelenggaran pendidikan di sekolah dan luar sekolah terus di tingkatkan. Penghayatan dan kesadaran masyarakat akan gejala dan masalah social harus tetep dijaga, karena melalui kesadaran dan penghayatan ini, diharapkan setiap anggota masyarakat mampu mengatasi masalah-masalah social yang di hadapi, setidaknya persoalan urusan rumah tangga, kebersihan lingkungan, sistem tradisi keamanan lingkungan masyarakat bisa diwujudkan.
  1. 4.      Hambatan-hambatan Studi social.
Dalam menelaah dan meneliti gejala dan masalah social dimasyarakat, kita akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang harus kita sadari sebelumnya. Gejala social berbeda sekali dengan gejala alam, karena gejala alam varianya tidak begitu besar, akan tetapi gejala social varianya cukup tinggi. Begitu juga variable penyebab gejala social sangat komplek, sehingga pengungkapanya memerlukan penilitian yang cukup luas. Gejala social merupakan perpaduan berbagai aspek kehidupan yang ditimbulkan oleh interelasi antar manusia dan alam lingkunganya.
Namun yang harus diperhatikan dalam setiap penelitian maupun penelusuran risert, adalah sifat-sifat gejala dan masalah social, yang berarti bahwa gejala kehidupan manusia dimasyarakat tidak bersifat dikotomi, artinya tidak bersifat ekstrem (tidak beraturan), seperti contoh sifat atau gejala yang berlawanan atau betentangan biasanya terdapat sifat atau gejala peralihan, yang berarti sifat atau gejala yang menempati suatu ujung yang bertentangan dengan sifat atau gejala pada ujung lainya selalu dihubungkan oleh sifat atau gejala yang merupakan peralihannya. Hal ini dapat dibuktikan tentang salah benar opini suatu dimasyarakat, sifat salah atau benar ini tidak selalu berlaku ekstrem dan mutlak, melainkan ada sifat peralihanya yang dipengaruhi oleh situasi-kondisi dan dimensi ruang-waktu, atau hal ini bisa dikatakan terbatas serta tentative (sementara). Sehingga apa yang ditetapkan sebagai hal yang benar disuatu tempat pada suatu waktu tertentu, belum tentu menjadi hal yang benar pada tempat yang sama pada kurun waktu yang berbeda, apalagi berlainan tempat, baik pada kurun yang sama maupun kurun waktu yang berbeda.
Adapun beberapa kesulitan yang biasa ditemui adalah seperti berikut:
  1. Seseorang yang mengadakan studi social atau disebut juga pengamat (observer) juga menjadi bagian yang sedang diamati (observed). Sehingga subyektivitas bisa mewaranai pandangan, pendapat, dan kesimpulan yang diajukan.
  2. Efek dari penerapan studi social belum tentu bisa ketahui saat itu juga.
  3. Teori ataupun teknologi yang diajukan belum tentu bisa diterima oleh masyarakat atau masyarakat masih awam dengan hal itu. Sehingga apa yang menjadi harapan si pengamat dan masyarakat, walaupun itu jalan satu-satunya belum tentu bisa diwujudkan. Dalam hal ini perlu adanya kesadaran kerja sama dan sinergi yang terus-menerus diupayakan.
    1. 5.      Metode-metode Studi social.
Ditinjau dari kerangka kerja dan pelaksanaan kerjanya, studi social tidak hanya dapat berlaku sebagai bidang ilmu pengetahuan, melainkan juga berlaku sebagai suatu bentuk metode. Studi social sebagai suatu metode, dalam hal ini metode pengkajian gejala dan masalah social, memiliki metode pendekatan dan metode pemecahan masalah social yang khas. Metode-metode tersebut akan diketengahan pada keterangan berikut ini;
  1. Metode pendekatan masalah.
Metode pendekatan masalah ini disebut juga metode pendekatan interdisipliner, karena metode ini menggunakan interelasi berbagai disiplin ilmu-ilmu social. Metode ini dapat dikembangkan juga menjadi multidisipliner, karena menggunakan berbagai disiplin akademik yang jumlahnya lebih banyak atau lebih dari satu disiplin ilmu social saja misalnya kedokteran, biologi dan sebagainya.
Metode ini dapat diartikan sebagai metode diagnosa terhadap suatu masalah social. Metode ini digunakan untuk mendekati dan mengungkap factor-faktor yang menyebabkan terjadinya masalah. Dengan menggunakan metode pendekatan seperti ini diharapkan terungkap sebab utama atau variable lainya, sehingga pemecahanya menjadi sistematis. Misalnya, kemiskinan, gizi buruk atau kekurangan persediaan air bersih, secara sepintas masalah tersebut orang akan langsung menetapkan bahwa hal itu adalah permasalahan ekonomi semata wayang. Tetapi jika ditinjau dan didekati lebih mendalam masalah tersebut menyangkut pula sikap mental penduduk, peraturan yang berlaku, kebijaksanaan dan tindakan pemerintah setempat, jarak dan lokasi daerah yang bersangkutan dari wilayah lain disekitarnya, kesuburan tanah dan sumber air, kepadatan penduduk, masalah itu sebagai gejala warisan dari tahun ke tahun, tingkat pendidikan dan keterampilan penduduk, hubungan antara penduduk yang miskin dengan yang kaya dan golongan setempat, dan lain-lain.
Ditinjau dari segi totalitas (sistem masalah), masalah gizi buruk dan kekurangan air bersih diatas tidak hanya merupakan masalah ekonomi semata, melainkan menyangkut pula aspek psikologi, aspek hokum, aspek politik, aspek geografi, aspek kependudukan, aspek hstoris, aspek sosiologi, dan sebagainya. Dengan demikian, pengungkapan harus dari berbagai disiplin akademik ilmu social yang meliputi Ilmu Ekonomi, Psikologi, Ilmu Hukum, Ilmu Politik, Geografi, Ilmu Sejarah, Ilmu Pendidikan, dan sebagainya. Prinsip – konsep – teori – tiap bidang ilmu pengetahuan tadi harus digunakan tiap bidang ilmu pengetahuan tadi harus digunakan untuk mengungkapkan sebab-sebab masalah tadi. Dalam hal ini susunan pola studi social diteruskan dengan riset atau penelitian pada umunya.
  1. Metode pemecahan masalah.
Metode pendekatan masalah dapat diartikan sebagai metode diagnosis terhadap masalah yang bersangkutan maka metode pemecahan masalah dapat diartikan metode therapinya. Adapun perbedaan antara keduanya hanya perbedaan pada kosep dasarnya ataupun hasil yang diinginkan, namun keduanya tetap menerapkan interdisipliner dan multi disipliner keilmuan dan bidang-bidang kelembagaaan. Dalam kerangka kerja metode pemecahan masalah tidak lepas dari hasil kerja metode pendekatan masalah sebagai dasar untuk menentukan pemecahannya adalah hasil diagnosis metode pendekatan masalah yang sudah diketahui hipotesisnya.
Suatu masalah social jika ditinjau dari aspek-aspek kehiduopanya merupakan masalah multiaspek. Jika ditinjau dari sector-sector kehidupan yang terlibat kedalamnya juga menyangkut beberapa sector. Misalnya, masalah penganguran akan melibatkan beberapa sector, seperti ekonomi, sector penyediaan lapangan pekerjaan, sector pendidikan, sector kependudukan, sector keamanan, sector penerangan, sector pemerintahan, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemecahanya juga melibatkan sector-sektor yang bersangkutan. Kerja sama berbagai sector dalam memecahkan suatu masalah atau mengerjakan sesuatu obyek raksasa disebut sebagai lintas sektoral.
  1. Metode pengembangan kehidupan.
Metode pengembangan kehidupan adalah meningkatkan kualitas kehidupan ketaraf yang lebih tinggi dengan tetap menjaga kelestarianya. Usaha meningkatkan kualitas kehidupan berarti memanfaatkan kemampuan social-budaya dalam mengolah segala sumber daya yang dapat menjamin peningkatan kehidupan yang bersangkutan. Pada konsep menjaga kelestarian kehidupan tersirat pula didalamnya mempertahankan keseimbangan antara peningkatan kehidupan dengan kualitas dan kelestarian lingkunganya.
  1. 6.      Era Globalisasi.
Sejarah manusia dari masa pra-sejarah hingga sekarang memperlihatkan bahwa sekilas peradaban manusia selalu terpisah oleh jarak dan waktu. Sehingga apa yang disebut perubahan ataupun peralihan sangat kurang signifikan. Namun seberapa pentingnya perubahan maupun peralihan kebudayaan serta pemikran manusia bagi kelangsungan hidup manusia pada dasarnya masih diperdebatkan. Hal ini bisa ketahui dari perbedaan argument, pertama dari argument bahwa manusia bersifat alami, yang berarti setiap manusia mempunyai kecenderungan adaptasi atau berperilaku menyesuaikan lingkungan. Kedua, bahwa manusia sebagai makhluk yang berpikir, yang berarti kemampuan manusia untuk merekayasa lingkungan sekitar sesuai kebutuhan. Namun perbedaan mendasar ini tidak selalu bertolak belakang ataupun berjauhan, dan justru selalu berdampingan, hal ini bisa dibuktikan setiap peradaban tidak pernah berperilaku ekstrim atau menolak keberadaan secara alami atau kodrati. Pendek kata sungguhpun kemajuan ilmiah suatu masyarakat itu setinggi langit maka tidak sekali-kalipun dia sanggup untuk memilih hidup dalam tanah misalnya.
Konsep globalisasi terinpirasi dari permasalah pokok manusia terkait kebudayaan atau kultur umat manusia, yaitu apa yang sesungguhnya peradaban yang menjadi harapan peradaban seluruh umat manusia. Sajian materi yang menjadi pokok pembahasan atau konsep globalisasi yang kita bahas disini adalah pembahasan terkait ide dan kepercayaan manusia diseluruh dunia. Pemilihan topic ini berlandaskan bahwa ide serta kepercayaan manusia adalah salah satu sisi ilmu pengetahuan yang selalu menjadi pokok bahasan seluruh umat manusia. Dan bisa dikatakan berasalkan dari dua pokok bahasan inilah perkembangan ilmu pengetahuan lainya terus dikembangkan.
Era Globalisasi adalah harapan suatu masa ketika bertemunya perkembangan serta peralihan peradaban manusia yang berkembang melalui jalur sejarah dan pemikiran ilmiahnya yang tidak mengenal batas wilayah teritorial dan perbedaan usia maupun waktu, yang bisa disebut sebagai era satu dunia (One eart).
Hal ini bisa menjadi jawaban sebuah pertanyaan, Apakah pengetahuan ilmiah berasal dari sebuah teori (risert-penelitian) atau tradisi (culture-budaya) yang menyejarah. Perubahan bentuk peradaban mengindikasikan bahwa peralihan budaya pemikiran manusia sebagai akibat situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda sangat menentukan sebuah perubahan peradaban atau lebih dominant dari pada mengkultuskan suatu teori. Hal ini bisa dibuktikan dari perubahan tradisi menoteistik yang selanjutnya diikuti oleh pemikiran secular maupun paganisme pada obyek kepercayaan atau pemikiran maupun berlaku sebaliknya. Dan dikatakan peralihan dan bukan sebagai perkembangan, karena suatu budaya bukan sebagai bentuk baru yang tiba-tiba muncul tanpa suatu sebab dan akibat yang memberikan tekanan serta pengaruh yang sangat kuat terhadap suatu lingkungan, sehingga masyarakat manusia harus berpikir ulang untuk mencermatinya sebagai bentuk permasalahan social. Dan suatu pemikiran akan cenderung hilang pada suatu saat namun suatu saat bisa muncul lagi atau lebih spesifiknya blunder (berulang kembali). Pendek kata bergantinya siang dan malam bisa mengikis iman seseorang, walaupun pada dasarnya keimanan pada Tuhanya tersebut adalah abadi, karena keberadaan yang diiman jauh sebelum adanya siang dan malam, bahkan tidak berawal dan berakhir.
Sehingga apa yang menjadi disebut tradisi dan teori pada praktisnya adalah sikap dan perilaku manusia sebagai tanggapan permasalah social pada lingkunganya, apapun yang terjadi pada lingkunganya, kelestarian manusia ditentukan dari factor lingkungannya dan tidak hanya serta merta factor ideology pemikiranya. Hal ini mengindikasikan bahwa manusia adalah berbudaya dan berpikir pada tingkat praktisnya. Jadi pengetahuan ilmiah tidak identik baku atau mutlak jika kita mengakui teori budaya, karena manusia itu berbudaya dan pemikiran adalah kemampuan alami sebagai makluk yang dimulyakan. Lalu berasal dari manakah bentuk kebudayaan sekarang, Apakah sebagai hasil pemikiran manusia ataukah peralihan budaya yang menyejarah.
Jika kita mencermati teori dialektika dalam porsi ilmiah maka manusia selalu mencari sebuah hipotesis adalah kesimpulan walaupun itu semantara, karena dalam setiap kesempatan pemikiran manusia selalu dimentahkan oleh situasi dan kondisi karena manusia tidak bisa melewati dimensi ruang dan waktu dalam saat tertentu. Dan jika kita mencermati sejarah maka kita akan menemukan dari manakah asal teori materialisme. Pendek kata pembahasan suatu ide masih bisa ditelusuri melalui jejak sejarahnya dan tidak serta pembenaran ilmiah selalu bergerak maju yang berarti tidak berlaku sebaliknya (masa lalu), karena batasan dimensi ruang dan waktu tidak dilewati oleh pembuktian dimasa yang akan datang, sehingga apa yang menjadi landasan suatu pengetahuan ilmiah saat ini harus bisa dibuktikan, hal itu tidak menafikan masa lalu maupun kedepanya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Zeno “gerak dan kosong adalah absurd”.
Dari sini dapat kita pahami sejarah dan pemikiran akan berulang walupun dalam suasana yang berbeda. Hal ini bisa dibuktikan apa yang disebut sebagai pengetahuan ilmiah saat ini, pada suatu saat bisa dikatakan suatu hal yang amat bodoh dan apabila kita cermati dari sejarahnya setiap generasi akan memahami hal baru dari generasi sebelumnya dan pada hakikatnya adalah kembali pada masa lalunya. Sebagai bukti kuncinya bentuk kepercayaan antara tauhid dan paganisme maupun secular akan saling bergantian dalam peradaban manusia, yang berarti sejauh mungkin manusia menginkari akan keberadaan Tuhan yang Esa, saat itu juga ia meyakini Tuhan walaupun itu dirinya atau obyek lain. Manusia tidak akan lepas dari permasalah tersebut.
Peradaban manusia berkembang melalui sejarahnya, apa yang disebut sebagai budaya pemikiran, daya cipta, rasa dan karsa selalu mengalami peralihan dari waktu-kewaktu. Dan apa yang disebut sebagai suatu perkembangan terhadap suatu kebudayaan adalah peralihan atau pertumbuhan suatu pola karena situasi dan kondisi suatu masa yang dihadapi oleh suatu masyarakat tertentu, sebagai bentuk proyeksi dan refleksi dari bentuk kebudayaan lama, sehingga membentuk metamorfosis yang bertahap dari waktu-kewaktu.
Perkembangan pengetahuan manusia yang alami dan tanpa praktik treatment dan manipulasi adalah bentuk kesejarahan yang sangat panjang seukuran peradaban manusia itu sendiri. Hal ini bisa dibuktikan bahwa bukti perkembangan suatu ideology suatu masyarakat tertentu, selalu menyangkut bentuk kebudayaan masyarakat yang telah ada sebelumnya yang berada dilingkungan tersebut.
Perkembangan pengetahuan manusia yang diindentikan pada tradisi dan praktik ilmiah (treatment dan manipulatif ), pada dasarnya adalah bentuk hakikat manusia sebagai manusia berpikir. Hal ini dibuktikan dalam setiap kesempatan manusia selalu diberikan suatu bentuk pilihan-pilihan.
Perbandingan bentuk antara dunia sejarah dan ilmiah suatu pengetahuan pada manusia yaitu argument filosofis dan tradisi yang berkembang. Dan jika kita nyatakan kepercayaan manusia tidak akan pernah punah dan ide manusia selalu menyertai kehidupan manusia dimuka bumi ini.

sosiologi pendidikan

Ngudi Ngilmu 2

4 Mei 2011 pukul 22:13
Materi pembelajaran kewargaan dengan metode Interactive Learning.
Oleh: Ahmad Izzul Ito’, S.Pd.
  1. A.    Kerangka dasar dan struktur kurikulum.
1.   Kerangka Dasar Kurikulum dan Kelompok Mata Pelajaran.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
2.   Kewarganegaraan dan Kepribadian.
a. Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.
b. Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3.     Prinsip Pengembangan Kurikulum.
 Kurikulum tingkat satuan pendidikan. jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut.
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
b. Beragam dan terpadu kurikulum dikembangkan dengan  memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi.
c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
e. Menyeluruh dan berkesinambungan Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
f. Belajar sepanjang hayat Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4.    Prinsip Pelaksanaan Kurikulum.                                                                      
Dalam pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan.
b. Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
c. Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
d. Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan).
e. Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan).
f. Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
g. Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan.
  1. B.     Tujuan pendidikan kewarganegaraan.
Permen No. 22 Tahun 2006, menyatakan: Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
  1. 1.      Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan.
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan, agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
    a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.
    b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta  anti- korupsi.
   c.  Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsabangsa lainnya.
   d.  Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara Langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi  informasi dan komunikasi.
  1. 2.      Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.
b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.
c.  Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
d.  Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri , Persamaan kedudukan warga negara.
e.  Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi.
f. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi
g. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka
h. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.
  1. C.    Metode Diskusi.
Dilihat  dari sejarahnya metode Diskusi sebagai salah satu cara mengajar formal sejak zaman Yunani dan Romawi, tugas guru didalamnya seperti bidan yaitu membantu lahirnya gagasan dari siswa. Pada zaman modern diskusi telah dianggap sebagai salah satu ciri penting sebuah kelas demokratis, diskusi didefinisikan sebagai kegiatan dimana sekelompok orang berbicara bersama untuk berbagai informasi dan tukar pendapat tentang sebuah topik atau masalah atau mencari pemecahan terhadap suatu masalah berdasar bukti-bukti yang ada (Abdul Azis Wahab 2008 :100).
Muhibbin Syah. 2000. dalam Buchori dkk, (20008:48), mendefinisikan bahwa metode diskusi adalah metode mengajar yang sangat erat hubunganya dengan memecahkan masalah. Metode diskusi pada dasarnya adalah bertukar informasi, pendapat, dan unsur-unsur pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapat pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih cermat tentang permasalahan atau topik yang sedang dalam pembahasan.
1.  Adapun kegunaan dari teknik diskusi antara lain:
  1. Untuk pemecahan masalah.
  2. Untuk mengembangkan sikap dan beraspirasi yang demokratis.
  3. Untuk menyampaikan dan membantu siswa menyadari adanya pandangan yang berbeda.
  4. Untuk mengembangkan keterampilan dialektis dan berkomunikasi.
  5. Untuk mengembangkan keterampilan kepemimpinan.
  6. Untuk membantu siswa merumuskan masalah dan prinsip-prinsip dan membantunya dalam menggunakan prisip tersebut, atau mempertahankan sebuah pendapat.
  7. Mendorong berpikir logis , dialektis, dan konstruktif.
  8. Melibatkan siswa dalam belajar menurut kemampuanya dengan menumbuhkan tanggung jawab untuk belajar dengan memberi kesempatan untuk menentukan pendirianya, mengembangkan argumentasinya, mempertahankan pandangan-pandanganya dengan kemungkinan dikritik oleh anggota kelompoknya.
  9. Untuk mengembangkan kepercayaan diri, kesadaran dan sikap yang tenang (poise).
  10.  Melalui diskusi juga ditumbuhkan perasaan yang pada perkembanganya benar-benar mengubah sikap dan perilaku yang oleh teknik atau metode lain sulit mempengaruhinya. Disamping beberapa keuntungan dari metode diskusi ada beberapa kelemahan metode diskusi diantaranya: strategi diskusi walaupun diorganisir secara baik belum menjamin dilaksanakan kesepakatan kelompok, juga diskusi sulit diduga karena bisa saja berubah menjadi tanpa tujuan atau ”free-for- all” terutama jka ketua kelompok diskusi tidak produktif, tanpa ujung pangkal dan menjadi ”tempat bersatunya kebodohan”.
2.  Ketentuan ketentuan pelaksanaan diskusi sebagai berikut, sebagai antisipasi kelemahan-kelemahan diskusi:
a.   Persiapan.
1. Topik harus yang benar-benar dapat didiskusikan, merupakan masalah-masalah kontroversial dan dapat dipecahkan lewat diskusi.
2.  Siswa harus siap, semua bahan dan alat yang diperlukan.
3. Perencanaan harus dilakukan atau agenda. Perlu adanya pernyataan pembukaan tentang tujuan dan tata cara diskusi yang lebih bersifat saran (suggestive) daripada merupakan resep yang harus diikuti (pre-scriptive). Dan jika memerlukanya, penyesuaian dapat dilakukan.
b. Gunakan batu loncatan untuk memulai diskusi. Bentuk teknik yang digunakan diantaranya adalah:
1) Mengemukan kasus atau masalah yang bisa dilakukan dengan bermain peran, hasil studi kasus secara tertulis, menghubungkan anekdot.
2) Atau dapat pula dikemukakan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang menantang.
3)  Dapat pula digunakan sosiodrama untuk menarik minat.
4) Menantang kelompok dengan menyajikan kutipan atau pernyataan atau pertanyaan yang menantang.
5) Pemanasan kelompok dapat dilakukan dengan buzz session.
6) Dengan kuis atau tes awal.
c.  Ciptakan lingkungan agar dapat berhadapan.
1) Menyusun ruang diskusi setengah lingkaran atau lingkaran penuh, merupakan bentuk pengaturan yang baik.
2) Usahakan diskusi berlangsung informal namun diupayakan agar tidak meluncur menjadi wadah ke-tidaktahuan.
3) Tekankan penghargaan setiap saat terhadap setiap orang.
4) Doronglah peserta yang malu agar berpertisipasi melalui pertnyaan-pertanyaan langsung kepada mereka. Pertanyaan seperti, ” apakah Anda sependapat”, atau ”apakah Anda akan memberi komentar/pendapat”.
d.  Upayakan agar diskusi terus berjalan.
1) Usahakan pembahasan pada jalurnya. Untuk pernyataan kembali tentang masalah yang dibahas, atau reorientasi dibantu dengan ringkasan atau sebagai kesimpulan.
2) Dorong pula agar terjadi saling diskusi sepanjang aturan aturan diikuti. Lemparkan pertanyaan pada seluruh siswa.
3) Harus diyakini bahwa pandangan siswa adalah penting. Saat itu terkadang guru harus mengangkat topik atau masalah yang berbeda atau bahkan bertentangan, tetepi pandangan guru harus tetap tidak di ungkap. Misalnya mengemukakan pertanyaan dengan mengatakan ” sebagian orang tidak sependapat bahwa melakukan hal itu akan memberi manfaat”.
4) Biarkan diskusi bersifat impersonal, pada tingkat rasional. Berarti kepala panas harus didinginkan, dan emosi harus dikendalikan.
5) Diskusi tidak efektif jika emosional, tidak penting (immaterial) dan berubah menjadi kegaduhan yang tidak positif.
e.  Berpikir rasional.
1)  Sistematis, logis, konsisten dan kritis.
2) Klarifikasi pendapat, atau menguji pendapatnya sendiri atau orang lain.
3) Aplikasi dan kejelasan pendapat.
f.  Bentuk-bentuk diskusi.
1) Diskusi kelompok kecil. Misalnya buzz groups. Bentuk ini adalah kelompok yang terdiri dari lima atau enam orang bersama-sama dalam beberapa menit mendiskusikan hal tertentu untuk tujuan tertentu.
2)  Panel, forum, simposium, atau perdebatan gaya Inggris.
Caranya :
a.  Kelas dibagi dua kelompok, dengan masing-masing ketua.
b. Setiap kelompok menyiapkan argumennya. Satu orang dari setiap kelompok menyampaikan pikiranya selama lima menit. Orang kedua setiap kelompok menyamoaikan pembicaraan tiga menit. Anggota lain memberi komentar.
3) Sikap Ketua atau pemimpin sidang diskusi. Menurut Eugene C. Kim dan Richard D. Kellogh (1983:131) yang harus diperhatikan adalah :
  1. Menghargai setiap gagasan.
  2. Setiap orang berhak mendapat perlindungan menyampaikan buah     pikiranya walaupun itu tidak populer.
  3. Diskusi sebagai alat untuk mencari kebenaran bukan forum memaksakan ide pada orang lain.
g.   Kelebihan metode diskusi.
1. Suasana kelas akan hidup. Sebab peserta didik mengarahkan pikiranya kepada masalah yang sedang didiskusikan.
2. menyadarkan peserta didik, bahwa masalah dapat dipecahkan dengan berbagai jalan.
3. Membiasakan anak didik untuk mendengarkan pendapat orang lain sekalipun berbeda dengan pendapatnya.
4. Dapat menaikkan kompetensi kepribadian seperti toleransi, demokrasi, kritis, berpikir sistematis, sabar dan menghargai pluralitas dalam multikultural.
5. Kesimpulan-kesimpulan diskusi mudah dipahami peserta didik karena anak didik mengikuti proses berpikir sebelum-sampai pada kesimpulan.
h. Kelemahan-kelemahan metode diskusi.
1. Memungkinkan ada anak yang tidak ikut aktif, sehingga bagi peserta didik ini diskusi merupakan kesempatan untuk melepas diri dari tanggung jawab.
2. Peserta diskusi mendapat informasi yang terbatas.
3. Dapat dikuasai oleh orang-orang yang suka berbicara.
  1. D.    Metode Tanya Jawab.
Teknik ini amat sering digunakan dalam pengajaran IPS/SS untuk melengkapi metode ceramah. Guru menggunakan model tanya jawab untuk memastikan apakah peserta didik memahami apa yang telah dilakukan, menentukan apakah penjelasan terhadap suatu hal diperlukan atau untuk memperoleh balikan tentang suatu kegiatan demontrasi atau penjelasan. Bertanya dapat pula digunakan untuk mengetahui pemahaman peserta didik terhadap konsep, generalisasi, atau mata pelajaran. Kadang pertanyaan itu mengharuskan peserta didik untuk mengingat kembali informasi yang pernah dibaca atau didengar dalam diskusi kelas.
Jadi pertanyaan yang baik adalah merupakan hal yang esensial dalam membangun kebiasaan berpikir reflektif. Jika pertanyaan itu hanya bersifat mengingat fakta belaka maka peserta didik hanya akan berusaha untuk tujuan itu saja, tidak belajar berusaha untuk bagaimana menggunakan informasi itu atau bahkan tidak memprosesnya, dalam pengertian hasil pemikiran dalam arti luas.

  1. E.     Metode Simulasi.
Strategi belajar-mengajar ini adalah strategi yang meminta siapa saja yang terlibat dalam strategi tersebut untuk menganggap dirinya sebagai orang lain yang tujuanya adalah untuk mempelajari bagaimana orang lain bertindaka dan merasakan. Atau bermain suatu permainan yang memberi kesempatan bagi peserta didik yang terlibat untuk ”menjadi orang lain” dan bukan dirinya sendiri, dan didalam proses yang baik mungkin akan memperoleh suatu gagasan tentang orang lain. Dalam pengertian umum seperti yang dikemukakan oleh Paul. A Twelker seperti yang dikutip oleh Robert L. Gilstrap dan William R. Martin (1975:87) mendifinisikan simulasi dengan memperoleh intisari atau pokok sesuatu tetapi tanpa keseluruhan aspek kenyataan. Tujuanya adalah untuk memperkaya pengalaman dan memperluas wawasan tentang berbagai hal yang umumnya dihadapi oleh orang lain tanpa harus takut merasakan akibat dari kekeliruan dalam pertimbangan dan tindakan. Dari ahli-ahli lain dikemukakan bahwa bermain adalah merupakan suatu teknik mengajar yang tepat karena melalui simulasi dan bermain dapat mendorong perhatian dan keterlibatan yang besar.
Menurut Ronald T. Hyman (seperti dikutip oleh Gilstrap dan Martin, 1975:87) hal-hal yang dihadapi itu dapat melalui Bermain Peran (Role Playing), Drama Kehidupan Masyarakat (Socio Drama), dan Bermain Simulasi (Simulation Games).
  1. Bermain Peran (Role Playing).
Bermain peran adalah berakting sesuai dengan peran yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk tujuan-tujuan tertentuu seperti menghidupkan kembali suasana historis misalnya mengungkapakan kembali perjuangan para pahlawan kemerdekaan, atau mengungkapkan kemungkinan keadaan yang akan datang, misalnya saja keadaan yang kemungkinan dihadapi karena semakin besarnya jumlah penduduk, atau menggambarkan keadaan imaginer yang dapat terjadi dimana dan kapan saja.
Melalui bermain peran, peserta didik ”memasuki diri” orang lain / individu lain dengan perilaku seperti orang yng diperankannya, peserta didik akan memperoleh pengetahuan tentang orang dan motivasinya yang menandai perilakunya. Peranan adalah merupakan serangkaian perasaan, kata-kata, dan tindakan-tindakan terpola dan unik yang merupakan kebiasaan seseorang dalam berhbungan dengan orang lain, termasuk berhubungan dengan situasi dan benda-benda. Sebagai salah satu strategi mengajar bermain peran mempunyai fungsi dan tujuan misalnya seperti yang dikemukakan oleh Fannie R. Shaftel dan Geore Shaftel (1967) bahwa metode bermmain peran mempunyai fungsi, namun dua fungsi utamanya adalah ”education for citizen” dan ”group counseling” yang dilakukan guru di kelas.
Beberapa kelemahan metode bermain peran adalah sebagai berikut:
  1. Jika peserta didik tidak dipersiapkan ada kemungkinan tidak akan melakukan secara bersungguh-sunguh.
  2. Bermain peran mungkin tidak akan berjalan dengan baik jika suasana dikelas tidak mendukung.
  3. Bermain peran tidak selamanya menuju arah yang diharapkan seseorang yang memainkanya dan bahkan juga mungkin akan berlawanan dengan apa yang diharapkan.
  4. Peserta didik sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengaan baik. Peserta harus mengenal dengan baik peran yang akan diperankan.
  5. Bermain memeakan waktu yang banyak.
  6. Untuk berjalan baiknya sebuah peran, diperlukan kelompok yang sensitif, imajinatif, terbuka, saling mengenal sehingga dapat bekerja sama dengan baik. Sebagai strategi belajar mengajar, bermain peran harus dipersiapkan dengan baik, dimana semua yang terlibat baik sebgai pemeran maupun yang menyaksikan saling memiliki ikatan emosional sehingga antara yang memerankan dan yang menyaksikan peran itu dapat memetik pelajaran dari kegiatan yang dilakukan secara bermain peran tersebut.
Agar penggunaan metode dapat berjalan dengan baik maka perlu juga diketahui masalah-masalah sosial yang dapat dijajagi dengan bermain peran. Masalah-masalah sosial yang dimaksud adalah:
  1. Pertentangan antara pribadi-pribadi (interpersonal conflicts).
    1. Mengungkapkan perasaan yang bertentangan.
    2. Menemukan cara-cara pemecahanya.
    3. Hubungan antar kelompok (intergroup relation).
      1. Mengungkap hubungan antar suku, bangsa, kepercayaan dan sebagainya.
      2. Mengungkap masalah yang merupakan konflik yang tidak nyata. Penggunaan bermain peran dalam hal ini adalah untuk mengungkap prasangka dan mendorong toleransi.
      3. Kemelut pribadi (individual dilemmas).
        1. Kemelut pribadi timbul jika seseorang berada pada dua nilai atau kepentingan berbeda.
        2. Jika sulit memecahkan permasalahan karena penilaian yang bersifat egosentrisme.
        3. Dengan berorientasi pada masa lampau dan kini (historical or contemporary problems). Menunjukkan misalnya betapa sulitnya permaslahan yang dihadapi pada masa lampau dan juga masa kini khususnya bagi para pejabat pemerintah atau pmpinan polititk dalam menghaddapi berbagai permasalahan yang menuntut pengambilan keputusan.
Bagaimana peran itu dilaksanakan dalam pengajaran perlu dilalui beberapa fase dan kegiatan sebagai berikut:
  1. Persiapan.
    1. Persiapan untuk bermain peran.
      1. Memilih permasalahan yang mengandung pandangan-pandangan yang bebeda dan kemungkinan pemecahanya.
      2. Mengarahkan peserta pada situasi dan masalah yang akan dihadapi.
      3. Memilih pemain.
        1. Pilih secara suka rela, jangan dipaksa.
        2. Sebisa mungkin pilih pemain yang dapat mengenali peran yang akan dibawakan.
        3. Hindari peamain yang ditunjuk sendiri oleh peserta.
        4. Pilih beberapa pemain agar sesorang tidak memainkan dua peran sekaligus.
        5. Setiap kelompok pemain paling banyak 5 orang.
        6. Hindari peerta membawakan peran yang dekat dengan kehidupan yang sebenarnya.
        7. Mempersiapkan penonton.
          1. Harus yakin bahwa pemirsa mengetahui keadaan dan tujuan bermain peran.
          2. Arahkan mereka bagaimana seharusnya beperilaku.
          3. Persiapan para pemain.
            1. Biarkan siswa mempersiapkanya dengan sedikit mungkiin campur guru.
            2. Sebelum bermain setiap pemain harus memahami betul apa yang dilakukannya.
            3. Permainan harus lancar, dan sebaiknya ada kata pembukaan, tetapi hindari melatih kembali saat sudah siap bermain.
            4. Siapkan tempat dengan baik.
            5. Kadang-kadang ”kelompok kecil bermain peran” merupakan cara yang baik bermain peran.
            6. Pelaksanaan.
              1. Upayakan agar singkat, bagi pemula lima menit sudah cukup, dan bermain habis, jangan diinterupsi.
              2. Biarkan agar spontanitas menjadi kunci.
              3. Jangan menilai aktingnya, bahsanya dan lain-lain.
              4. Biarkan peserta bermain bebas dari angka dan angkatan.
              5. Jika terjadi kemacetan hal yang harus dilakukan misalnya:
                1. Dibimbing dengan pertanyaan.
                2. Mencari orang lain untuk peran itu.
                3. Menghentikan dan melangkah ketindak lanjut.
                4. Jika pemain tersesat lakukan:
                  1. Rumuskan kembali msalah dan keadaan.
                  2. Simpulkan apa yang sudah dilakukan.
                  3. Hentikan dan arahkan kembali.
                  4. Mulai lagi setelah ada penjelasan singkat.
                  5. Jika siswa mengganggu:
                    1. Tugasi dengan peran khusus.
                    2. Jangan pedulikan dia.
                    3. Jangan bolehkan pemirsa mengganggu.
                    4. Jika tidak setuju dengan cara temanya memerankan beri ia kesempatan untuk memerankan.
                    5. Tindak lanjut.
                      1. Diskusi.
                        1. Diskusi tindak lanjut yang dapat memberi pengaruh yang besar terhadap sikap dan pengetahuan peserta didik.
                        2. Diskusi juga dapat menganalisis, menafsirkan, memberi jalan keluar atau merekreasi.
                        3. Didalam diskusi sebaiknya dinilai apa yang telah dipelajari.
                        4. Melakukan bermain peran kembali.
                        5. Kadang-kadang memainkan kembali dapat memberi pemahaman yang lebih baik (Disrikan dari Leonard H. Clark, 1973, dalam Wahab,2008: 100-114).
                        6. Drama Kehidupan Masyarakat (Socio Drama).
Setrategi mengajar socio drama ialah sebuah cara memerankan pemecahan masalah secara kelompok yang memfokuskan pada masalah-masalah tentang hubungan manusia. Masalah itu mungkin mengenai peserta didik dalam bekerja sama disekolah, keluarga, atau masyarakat. Dengan demikian sosiodrama memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari alternatif-alternatif pemecahan masalah yang dihadapi oleh kelompok. oleh karena sosiodrama sering dikaitkan dengan metode bermain peran, maka apa yang terjadi dalam kegiatan menggunakan setrategi bermain peran.
Agar tidak keliru, maka akan diuraikan sedikit tentang ”dramatization” atau dramatisasi agar tidak keliru dengan sosiodrama. Mengapa dikatakan demikian, walaupun keduanya mengandung kata-kata drama namun keduanya berbeda sebab, yang satu bersifat terstruktur (dramatisasi) sedaangkan yang lainya tidak (sosiodrama). Dramatisasi disebut terstruktur karena untuk menggunakan metode tersebut diperlikan naskah, panggung, latihan serta penonton, sedangkan sosiodrama lebih bersifat spontan tanpa perlu naskaah dan latihan. Dramatisasi biasanya digunakan untuk menunjukkan kejadian bersejarah, untuk mengamabrkan kehidupan pada periode lain, atau mendemonstrasikan beberapa masalah kehidupan. Dalam  melaksanakan dramatisasi pada umumnya peserta didik selalu terlibat dalam kerja yang banyak dan menuntut kreativitas. Misalnya, merencanakan dan membuat kostum, melakukan pekerjaan seperti panggung dan kelengkapan lainya, mempersipkan program, koreografi, dan lain sebaginya. Hal itu menuntut peserta didik untuk melakukan persiapan, kerja sama, partisipasi, dan penilaian.
Bentuk-bentuk lain dari metode sosiodrama misalnya, kontes kebudayaan, adat perkawinan antar suku dan bangsa, pakaian adat, mode, fashion, makanan dan minuman, kuliner, maupun masakan khas daerah, kelas-kelas sosial, gaya hidup, furnitur, bahasa, kisah-kisah dongeng, mitos, legenda, boigrafi, auto biografi dan lain sebagainya.
  1. Simulasi dan Bermain Simulasi (Simulation Games).
Bermain simulasi adalah teknik mengajar dimana peserta didik mengasumsikan peran khusus sebagai pengambil keputusan, bertindak seolah-olah mereka benar-benar terlibat dalam suatu situasi dan berkompetisi untuk tujuan-tujuan tertentu sesuai dengan aturan-aturan khusus. Namun demikian analisis terhadap berbagai literatur menunjukkan bahwa walaupun strategi telah lebih dari dua dekade pengembangan dan implementasinya, hanya sedikit yang diketahui tentang pengaruhnya terhadap pengembangan afektif dan kognitif peserta didik ( Robert L. Gilstrap dan William R. Martin, 1975:87).
Pengembangan strategi simulasi dapat dilihat kebelakang paling tidak diturunkan dari tiga leluhur yaitu: simulator trainers, bermain (ice break) dan bermain peran. Berlatih dengan simulator (simulator trainers) telah dikembangkan oleh industri ruang angkasa untuk tujuan mengajar pilot pesawat terbang dan terakhir digunakan pula oleh para astronout, untuk memanipulasi lingkungan dan implikasinya adalah suatu kebenaran atau kenyataan.
Bermain (ice break) adalah merupakan bagian dari kebudayaan dan biasanya dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan dan merangsang pola pemikiran tertentu serta tujuanya lebih pada keakraban dan kebersamaan. Bermain sudah dianggap sebagai sesuatu yang bersifat persaingan individu atau kelompok, yang melibatkan sampai derajat tertentu keterampilan dan / atau keberuntungan, dan disarankan pada ketentuan-ketentuan yang disepakati. Dari simulasi memberi illusi tentang kenyataan tetapi mengeluarkan sebagian terbesar dari bagian-bagian yang tidak sesuai atau yang membahayakan peserta. dalam simulasi menerbangkan pesawat misalnya atau mengemudikan kendaraan, gerakan yang salah dari peserta latihan tidak akan menyebabkan jatuhya pesawat, atau terjadinya tabrakan kendaraan.
Metode simulasi lainya  seperti mikro teaching, out bond, gladi, casting, olah tempat kejadian perkara, latihan tim SAR, tanggap darurat bencana, latihan gabungan keamanan, base camp, diklat, rekonstruksi, investigasi, sosialisasi, dan lain sebagainya. Keperluan lain dari kegiatan ini adalah mengembangkan dan mempelajari segala bentuk permainan dan simulasi sekaligus upaya inovasi, serta sebagai salah satu skill kompetensi profesional sebagai guru, sehingga kebutuhan akan hiburan dan pendidikan yang berkualitas dikelas bisa terwujud.
  1. Metode Berdebat Ala Inggris (British Style Debate).
Untuk melaksanakan setrategi tersebut maka sebaiknya kelas dibagi atas dua tim (Pro dan Kontra), dimana setiap tim mempunyai dua juru bicara utamanya masing-masing salah satunya menjadi moderator dan peserta lainya sebagai pendukung dan membantu pendapat dari setiap kelompoknya untuk mempertahankan argumenya. Setelah menyiapkan dua moderator yang saling mendukung kedua belah pihak, kemudian jelaskan Tema-nya kepada masing-masing kelompok dan menyiapkan argumenya. Cara pelaksanaan selanjutnya adalah:
  1. Salah seorang moderator dari kedua belah pihak diberi kesempatan berbicara sekitar lima menit.
  2. Orang kedua dari setiap pihak menyampaikan pembicaraanya selama tiga menit.
  3. Anggota kelompok lainy dari masing-masing tim memberikan komentar dan dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan dari peserta. ( Dengan demikian setiap tim memperoleh kesempatan yang sama, secara bergantian antara pembicaraan yang mendukung dan yang negatif ).
  4. Salah seorang anggota dari setiap pihak memberi kesimpulan. Kegiatan-kegiatan tersebut jika waktu memuungkinkan maka dilanjutkan diskusi umum. Dalam melaksanakan Setrategi ini usahakan agar masalah atau isu olitik, sosial, dan ekonomi yang dikemukakan itu betul-betu menimbulkan kekompakan dari yang pro dan kontra agar tujuan perdebatan dapat dicapai secara optimum.
  5. Teknik Pengadilan (Jury- Trial Technique).
Teknik ini menggunakan prosedur ruang pengadilan guna mendiskusikan isu atau masalah. Untuk melaksanakannya ada beberapa cara/langkah yang perlu ditempuh sebagai berikut:
  1. Memilih issu atau masalah untuk diperdebatkan.
  2. Memilih pengacara, peneliti, dan saksi yang pro dan kontra atau jika dalam istilah pengadilan yang sebenarnya disebut saksi yang meringankan dan memberatkan.
  3. Minta agar seluruh peserta untuk meneliti masalah. Pengacara dan saksi harus mendapatkan seluruh fakta yang mungkin dengan bantuan peneliti.
  4. Usahakan menampilkan fakta seperti layaknya diruang pengadilan:
    1. Para saksi menampilkan seluruh bukti-bukti.
    2. Pengacara menanyai dan bertanya silang.
    3. Pengacara dari masing-masing pihak menafsirkan bukti-bukti yang diajukan dan berupaya membuktikan bahwa hal itu menguatkan kedudukanya.
    4. Dosen bertindak sebagai jaksa, mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang salah atau palsu, dan fakta-fakta yang tidak benar serta kesalahan lain yang jelas dari hasil-hasil pernyataan dalam sidang.
    5. Setelah semuanya memperoleh kesempatan untuk menampilkan semua kebenaran, maka dosen bertindak sebagai juri, untuk memilih pihak mana yang telah mengemukan argumen yang terbaik.
Beberapa Setrategi dan teknik lainya yang juga dapat digunakan misalnya adalah, Field Trip, Independent Study, Proyek, Mendatangkan Pembicara Tamu, Study Tour, Karya Wisata dan lain-lain.



Materi perkembangan peserta didik.
Oleh: Ahmad Izzul Ito’, S.Pd.

  1. A.          Perkembangan Peserta Didik.
Prinsip-prinsip perkembangan secara garis besar , menurut ( Atmodiwirjo, 1983; Simandjuntak dan Pasaribu, 1979; Syah, 1995; Kartono, 1982; Kasiram, 1983; Sholeh dan Soerjadiningrat, 1971, dalam Qomaruddin, 2007: 28, materi kuliah perkembangan peserta didik ), peristiwa perkembangan mempunyai atau mengikuti prinsip-prinsip perkembangan sebagai berikut :
  1. Perkembangan tidak terbatas dalam arti tumbuh menjadi besar, namun mencakup rangkaian perubahan yang bersifat progresif, teratur, koheren, dan berkesinambungan. Jadi antara satu tahap perkembangan dengan tehap perkembangan berikutnya tidak terlepas, dan berdiri sendiri.
  2. Perkembangan  selalu menuju proses diferensiasi dan integrasi. Proses diferensiasi artinya ada prinsip totalitas pada diri anak. Dari penghayatan totalitas itu, lambat laun bagian-bagiannya menjadi sangat nyata dan bertambah jelas dalam kerangka keseluruhan. Karena manusia merupakan totalitas (kesatuan), ditemui kaitan erat antara perkembangan aspek fisik-motorik, mental, emosi, dan sosial. Perhatian yang berlebihan atas satu segi akan mempengaruhi segi atau aspek lain.
  3. Perkembangan dimulai dari respon-respon yang sifatnya umum menuju yang khusus. Contoh, seorang bayi pada awalnya bereaksi tersenyum setiap melihat wajah manusia, dan setelah bertambahnya usia bisa membedakan wajah–wajah tertentu, dengan senyum atau tangisan.
Setiap orang akan mengalami tahapan perkembangan yang berlangsung secara berantai. Walaupun tidak ada garis pemisah yang jelas antara satu fase dan fase lain, tahapan ini sifatnya universal. Setiap fase perkembangan memiliki ciri dan sifat yang khas, sehingga ada tingkah laku yang di anggap buruk atau kurang sesuai, yang merupakan tingkah laku wajar untuk fase tertentu. Contoh, para orang tua sering mengkomentari perubahan perilaku ini” dulu manis, patuh, sekarang bandel dan keras kepala”.
Para ahli mengemukakan bahwa masa tenang atau equilibrium (ketika anak mudah di atur dan penurut) dan masa disequilibrium atau tidak tenang (ketika anak sukar diatur, mudah tersinggung, dan gelisah) pada seorang anak, terjadi silih berganti, sebagai mana alur sebuah spiral yang bergerak keatas. Namun, adanya perubahan – perubahan itulah merupakan ciri terjadinya perkembangan.
Setiap anak mempunyai tempo kecepatan perkembangan yang berbeda, baik secara fisik maupun mental. Dalam perkembangan, dikenal adanya irama atau naik turunya proses perkembangan. Menurut para ahli psikologi, setiap anak biasanya mengalami dua masa panca roba atau krisis, yang lazim disebut Trotz. Masa trotz  ini terjadi dua periode, yakni:
1. Trotz periode ke-1, terjadi pada usia dua sampai tiga tahun, ciri-cirinya, egois, bersikap dan bertingkah selalu mementingkan dirinya sendiri.
2. Trotz periode ke-2, terjadi pada umur antara empat belas sampai tujuh belas tahun, ciri utamanya membantah orang tua atau ambivalen, dalam mencari identitas atau jati diri. Tentang trotz ke-2, perlu digaris bawahi umur 14 - 17 tahun bukan ”harga mati”, jadi setiap orang atau bangsa tidak sama. Setiap anak, seperti juga organisme lainnya, memiliki dorongan dan hasrat mempertahankan dari hal-hal membahayakan, seperti rasa sakit, rasa tidak aman, kematian , dan seterusnya.
Dalam masa perkembangan terdapat masa peka. Masa peka adalah suatu masa dalam perkembangan anak, saat suatu fungsi jasmani ataupun rokhani, dapat berkembang dengan cepat jika mendapat latihan yang baik dan kontinu. Montesori mengemukakan bahwa hanya sekali saja terjadi masa peka untuk tiap-tiap fungsi hidup.
Montesori, yang dalam pendidikanya lebih diarahkan pada penemuan masa peka anak, dengan metode menyediakan berbagai permainan dan anak harus memilih permainan yang disukainya, apabila sudah jelas dan terarah maka anak tersebut mendapat latihan dan bimbingan yang kontinu dengan baik. Perkembangan anak pada dasarnya tidak hanya dipengaruhi faktor bawaan sejak lahir, tetapi dari lingkungan juga. Sebagai contoh setiap anak punya bakat berbicara, namun untuk berbicara tersebut mereka harus mendengar kata-kata dan kalimat dari orang sekitarnya (Qomaruddin. 2007:36).
Tugas–tugas perkembangan atau Developmental Task. Menurut Havinghurst, tugas perkembangan adalah suatu tugas yang timbul pada suatu periode dalam perkembangan seseorang, keberhasilan tugas ini mempengaruhi kehidupan seseorang di masa yang akan datang. Tugas tugas tersebut terdiri dari tiga macam kekuatan yang bekerja sama, yakni:
1.  Kematangan physik.
2. Tekanan – tekanan kultural dari masyarakat.
3. Nilai-nilai dan hasrat pribadi dari seseorang.
1.  Tugas – tugas perkembangan dalam masa kanak –kanak antara lain:
  1. Belajar keterampilan physis, yang di perlukan untuk permainan sedehana.
  2. Belajar bergaul dengan teman sebaya.
  3. Belajar menyesuaikan diri dengan keadaan sebagai pria atau wanita.
  4. Mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung.
  5. Mengembangkan konsep – konsep kehidupan sehari hari.
  6. Mengembangkan sikap terhadap kelompok dan lembaga masyarakat.
2.  Hal – hal yang berhubungan dengan masa perkembangan .
  1. Masa kanak – kanak adalah periode yang menjadi dasar bagi kehidupan.
  2. Perkembangan terjadi karena kematangan dan pembelajar.
  3. Perkembangan mengikuti pola tertentu dan dapat diramalkan.
  4. Semua individu adalah berbeda. Setiap tingkat masa perkembangan mempunyai ciri khas ( Qomaruddin. 2007: 44).
3.  Perbaikan dari pengaruh kegagalan pendidikan anak.
  1. Mengusahakan suatu lingkungan belajar yang kaya, yang menarik, yang menstimulasi dan menantang.
  2. Mengisi ruang belajar dengan benda – benda yang memperkaya perbendaharaan kata.
  3. Membacakan kepada anak anak cerita cerita.
  4. Memperbanyak komunikasi antara guru dan murid agar murid dapat memahami struktur kalimat.
  5. Mengusahakan anak dalam bertanya atau respon  menggunakan kalimat yang lengkap.
  6. Membina kebiasaan pada anak dan mengusahakan agar kebiasaan itu menjadi kebutuhan, seperti mandiri, etika dan belajar.
4.  Pengalaman – pengalaman belajar akan menghasilkan hal hal berikut:
  1. Pengetahuan (fakta, keterangan, buah fikiran, pengertian, generalisasi, dan sebagainya).
  2. Berbagai jenis ketangkasan dan ketangkasan, seperti gerak tubuh, komunikasi, ekspresi diri, membaca, menulis, berhitung, bersosialisasi, dan sebagainya.
  3. Berbagai kesanggupan hidup, seperti apresiasi, kritis, analitis, mengontrol emosi, berdaya kreatif dan aktif.
  4. Sikap jiwa yang positif, seperti rajin dan giat dalam beraktifitas, belajar, bertanggung jawab, toleransi, dan bersikap sosialis.

Pendidikan Karakter sebagai upaya Pendidikan Anti Korupsi

ngudi ngilmu 3

4 Mei 2011 pukul 22:19
Pendidikan Karakter sebagai upaya Pendidikan Anti Korupsi
Oleh : Ahmad Izzul Ito’, S.Pd.
a)      Pendahuluan.
Pendidikan adalah upaya sadar pembangunan manusia seutuhnya, serta sarana pengembangan potensi-potensi dalam diri manusia. Sasaran pendidikan adalah manusia, sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi hakikat manusia menjadi tugas pendidikan. Kualitas belajar berkaitan erat dengan proses pembelajaran yang di peroleh siswa pada jenjang pendidikan. Pembelajaran aktif, efektif dan relefan jika konsisten pada tujuan pendidikan serta asas pendidikan yang berlaku, dinamis pada setiap kondisi. Mampu meramalkan kondisi di masa-masa yang akan datang. Pembelajaran aktif berorientasi pada proses bukan hasil. Apa yang dipelajari sebagaimana proses keaktifan adalah sama pentingnya dengan fakta yang merupakan hasil dari aktifitas. Pendidikan yang mengedepankan teori klasik yaitu guru sebagai pusat belajar, media belajar, materi ajar dan sebagainya di lingkungan perdesaan kiranya perlu adanya perubahan dari pasif ke aktif, tradisional ke moderen dan bentuk-bentuk pendidikan lebih merupakan penggunaan teknologi pendidikan dari pada hanya seni pendidikan.
Orientasi pendidikan sebagai pengembangan serta pemberdayaan sumberdaya manusia, melalui pendidikan ilmu-ilmu social menuju pembangunan manusia seutuhnya, merupakan suatu hal yang sangat penting. Sumberdaya alam yang melimpah, serta strategisnya jalur ekonomin suatu negara, ternyata belum bisa diwujudkan tanpa memproses sumberdaya manusia terlebih dulu. Ilmu social sebagai pembuka pengetahuan ilmu-ilmu pengetahuan yang lain diharapkan memberikan kontribusi besar pada perolehan tujuan serta manfaat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena tanpa pengetahuan ilmu-ilmu social mustahil suatu peradaban yang maju, adil, sejahtera dan beradab bisa diwujudkan.
Menurut teori kodrat alam, yakni hokum alam yang memandang alam sebagai wujud keniscayaan, yang berarti bahwa alam berlaku tertib, seimbang, selaras, dan transenden, sehingga menunaikan kewajiban sebagai perilaku alamiah. Adapun landasan legitimasi hokum alam adalah alam berlaku hukum sebab-akibat, keniscayaan, dan sebagainya, sehingga berlaku ketertiban, keseimbangan, keselarasan didunia, dikarenakan semua hal itu bukan sebagai sifat wajib  Tuhan.
Dan apa yang disebut hokum kodrat Tuhan (Theologi) adalah Tuhan bersifat Maha Adil, Bijaksana, Agung, Pemilik semesta alam. Sehingga apapun itu bentuk psikososial seperti, kejahatan, keburukan, perbuatan tercela lainnya adalah akibat hubungan antar makhluk dan pengaruh antara manusia satu dengan lainya atau alam lingkungan sekitarnya, dan bukan sebagai sifat-sifat wajib Tuhan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, ilmu-ilmu social adalah sebagai dasar atau fundament dari ilmu-ilmu pengetahuan lainya, karena kontribusinya yang besar pada pengembangan sumberdaya manusia menuju manusia yang sesungguhnya, dalam masyarakat, berbangsa serta bernegara. Tatanan Negara yang adil dan beradab tidak bisa dihadirkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang lain. Dengan kata lain, kemajuan, stabilitas politik dan jaminan keamanan suatu bangsa tidak bisa dilihat dari satu sisi bidang saint dan IPTEK saja. Mengapa kita harus mempelajari ilmu-ilmu sosial ? Dan apakah ilmu-ilmu sosial sebagai jaring pengaman stabilitas serta jaminan keamanan dunia dari kekacauan politik dan ekonomi suatu bangsa. Mengingat sejarah tranformasi serta transisi sosial dimasa lalu, seperti perang dunia, perubahan bentuk-bentuk negara dan paradigma sosial politik pasca perang dunia dan sebagainya, yang ditengarai sebagai akibat kurangnya pengetahuan akan ilmu-ilmu sosial, sehingga kajian ilmu-ilmu sosial tetap harus kita jaga dan dikembangkan sesuai tuntutan zaman.
Jika kita bisa mengilhami sejarah masa lalu, yakni perang dunia, maupun bentuk-bentuk suatu negara dimasa lalu, serta beberapa peristiwa sejarah banyak ditengarahi oleh pergerakan (hegemoni) dari pemaknaan negativ revolusi dari makna revolusi social yang positif, yakni pergerakan supremasi budaya dan politik oleh satu bangsa kepada bangsa lainnya atau disebut invasi/agresi, tanpa memandang subtansi dari kesejahteran sosial dan politik pada hakikatnya didunia, yaitu pembangunan ekonomi, saint, pendidikan, kesehatan, IPTEK dan sebagainya yang komprehensif (menyeluruh). Dan diperparah dengan pemaknaan ilmu-ilmu sosial yang praktis, ambiguitas/jumud atau stagnasi suatu pemikiran dan paradigma sosial, didalam membangun sebuah negara atau bangsa. Pendek kata, jika kita dangkal akan pemaknaan dan pemahaman akan ilmu-ilmu sosial, maka jangan berharap istilah damai bisa kita dengar, atau bahkan mustahil mengurangi peperangan ataupun kejahatan kita lakukan. Sehingga nilai-nilai social politik jauh sekali dari konsep demokrasi, pluralisme, multikulturalisme serta supremasi hokum.
Dari sinilah timbullah kesadaran pentingnya pengembangan pendidikan serta kajian ilmus-ilmu social untuk tetap ditumbuh kembangkan, sebagai jaminan kestabilan keamanan serta politik suatu bangsa, sehingga tercapainya tujuan perserikatan bangsa-bangsa didunia, yaitu menuju tatanan dunia yang damai abadi selamanya. Pendek kata, materi ilmu-ilmu sosial bisa disebut ilmu manajemen konflik peradaban sosial (kebutuhan rohani), dan ilmu-ilmu saint dan teknologi bisa disebut ilmu solusi pertumbuhan dan perkembangan (kebutuhan jasmani) peradaban sosial. Sehingga ilmu social adalah ilmu tentang manusia dan peradabanya. Dan pencapaian manusia tentang hakikat dirinya harus sampai pada puncaknya, seperti yang dinyatakan dalam sabda Nabi Muhammad SAW: ”Man ’arofa nafsahu ’arofa Robbahu ” artinya siapapun yang mengetahui hakikat dirinya, maka seyogyanya ia mengetahui Tuhan-Nya, disinilah puncak dari seluruh pengetahuan manusia tentang hakikat dirinya di identifikasikan dan di dedikasikan, sebagai manusia seutuhnya atau insan kamil.
Misi pendidikan adalah menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan, karena itu pendidikan selalu menghadapi masalah. Dikarenakan pembangunan itu sendiri selalu mengikuti tuntutan zaman (perubahan). Masalah  yang dihadapi dunia pendidikan sangat luas dan kompleks. Pertama, kareana sifat sasaranya yaitu, manusia. Manusia merupakan makhluk misteri yang mengundang banyak teka teki. Kedua, karena pendidikan harus mengantisipasi hari depan yang juga mengundang banyak pertanyaan. Padahal pemahaman terhadap masa lalu (sejarah) itu penting, karena menjadi acuan segenap perubahan terjadi saat ini. Namun pendidikan harus tetap melangkah maju dengan tegas dan tegak, yaitu menyambut hari esok yang lebih baik, apapun itu tantangannya. Inilah sekelumit dari berbagai tantangan yang dihadapi dunia pendidikan kita saat ini. Semoga apa yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa bisa diwujudkan dimasa-masa yang akan datang.
b)     Hakikat Manusia dan Pengembangannya.
Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiaan. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan menjadi manusia seutuhnya. Ibarat biji mangga bagaimanapun wujudnya jika ditanam dengan baik, pasti menjadi pohon mangga dan bukannya menjadi pohon jambu.
Tugas mendidik hanya mungkin dapat dilakukan dengan benar dan tepat tujuan, jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Manusia memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda dari hewan. Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu (intregated) dari apa yang disebut sifat hakikat manusia. Disebut hakikat sifat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia. Pemahaman pendidik terhadap sifat hakikat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta memberikan acuan bagi pendidik dalam bersikap, menyusun strategi, metode dan teknik, serta memilih pendekatan dan orientasi dalam meancang dan melaksanakan komunikasi transaksional didalam interaksi edukatif. Dengan kata lain, dengan menggunakan peta tersebut sebagai acuan, seorang pendidik tidak mudah terkecoh kedalam bentuk-bentuk transaksional yang patologis dan berakibat merugikan subjek didik.
Alasan kedua mengapa gambaran yang benar dan jelas tentang manusia itu perlu dimiliki oleh pendidik, karena adanya perkembangan moral, etika, sain’s dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini, lebih-lebih pada masa mendatang. Memang banyak manfaat yang dapat diraih secara fisik (materi) bagi kehidupan manusia darinya, namun disisi lain tidak dapat dielakkan akan adanya dampak negative (roh sosial), yang terkadang tanpa disadari sangat merugikan manusia bahkan mengancam eksistensi manusia, seperti bom kimia dan senjata biologis (WMD), video dan DBS (Direct Broad-casting System), rekayasa genetic, serta perilaku umum manusia (social-politik) seperti, korupsi, kolusi, nepotisme, monopoli, diskriminasi, tindak anarkis, invasi/agresi, perang antar suku dan golongan atau kelompok (sektarian), upremasi budaya serta etnis dan lain-lain, yang digunakan oleh oknum (manusia) ataupun kelompok tertentu yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, adalah sangat setrategis jika pembahasan tentang hakikat manusia ditempatkan pada bagian pertama dari keseluruhan pengkajian tentang pendidikan, dengan harapan menjadi titik tolak bagi paparan selanjutnya.
  1. Sifat Hakikat Manusia.
Sifat hakikat manusia sebagai salah satu kajian filsafat, khususnya filsafat antropolgi. Mengapa pendidikan sebagai kajian filsafat, karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek yang tanpa landasan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya folosofis normative. Sifat filosofis Pendidikan dikarenakan untuk mendapatkan landasan yang kukuh , yang bersifat mendasar, sistematis, dan universal tentang ciri hakiki manusia. Bersifat normative karena pendidikan mempunya tugas untuk menumbuhkan kembangkan sifat hakikat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan.
  1. Pengertian Sifat Hakikat Manusia.
Sifat hakikat manusia diartikan sebagai cirri-ciri karakteristik, yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan, meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya. Bentuknya (misalnya orang hutan), bertulang belakang, seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anaknya, pemakan segala, dan adanya persamaan metabolisme dengan manusia. Bahkan beberapa filosof  seperti Socrates, menamakan manusia itu Zoon Politicon (hewan bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das kranke Tier (hewan yang sakit) (Drijarkara, 1962: 138) manusia yang selalu gelisah dan bermasalah.
Kenyataan dan pernyataan ini bisa menimbulkan kesan yang keliru, mengira bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang dengan melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaanya, misalnya dengan air karena perubahan temperatur lalu menjadi es batu, seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pedidikan orang hutan dapat dijadikan manusia. Upaya manusia untuk mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia telah ditemukan.
Sehingga Charles Darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang untuk menemukan bahwa manusia berasal dari primate atau kera, tetapi ternyata gagal. Ada misteri yang dianggap menjembatani proses perubahan dari primate ke manusia yang tidak sanggup diungkap dari teori evolusi yang disebut The Missing Link, yaitu suatu mata rantai yang putus. Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukan bahwa manusia muncul sebagai bentuk perubahan dari primate atau kera melalui evolusi.
  1. Wujud sifat Hakikat Manusia.
Beberapa wujud sifat Hakikat Manusia menurut faham kaum eksistensialisme, yaitu :
1). Kemampuan menyadari diri.
Kaum rasioanlis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, yang lazim disebut sifat ke-Aku-anya  Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku-aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku (lingkungan fisik) disekitarnya, bahkan tidak hanya membedakan, manusia juga mampu membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya, baik berupa pribadi maupun nono pribadi/benda. Orang lain merupakan pribadi-pribadi disekitar, adapun pohon, batu, cuaca dan sebagainya merupakan lingkungan nonpribadi.
Kemampuan membuat jarak dengan lingkunganya berarah ganda, yaitu berarah keluar dan kedalam. Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai obyek dan aku memanipulasi kedalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. Puncak aktivitas yang mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai gejala egoisme. Dengan arah kedalam, aku memberi status kepada lingkungan (dalam hal ini kamu. dia, mereka) sebagai subyek yang berhadapan dengan aku sebagai obyek, yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan, tenggangrasa, dan sebagainya. Dengan kata lain, aku keluar dari dirinya dan menempatkan aku pada diri orang lain. Gejala ini lazimnya dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang terpuji. Didalam proses pendidikan, kecenderungan dua arah tersebut perlu dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah  keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah kedalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia.
Keistemawaan manusia adalah manusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak (distansi) dari Aku-nya sendiri self interested atau instrospeksi. Instrospeksi adalah suatu anugerah yang sungguh luar biasa, yang menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri. Aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subyek kemudian memandang dirinya sendiri sebagai obyek. Untuk melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Pada saat demikian seorang aku dapat berperan ganda (sebagai subyek dan sekaligus obyek) suatu aktivitas yang tidak mudah untuk dilakukan. Hal ini membuktikan suatu ketika manusia dapat berperan sebagai hakim, polisi, atau si-pendidik.  Suatu ketika sebagai pesakitan, terdakwa, atau si peserta didik.
Peran ganda manusia sebagai subyek dan obyek membentuk manusia menuju puncak karakteristik manusia yaitu menjadikan diri manusia lebih unggul dari pada hewan atau primate, sehingga lazimnya perilaku ini disebut introspeksi atau mengarahkan/menghadapi sifat destruktif hawa nafsu pada diri sendiri, karena berperan sebagi subyek (rasional-akal budi) pendidik, hakim, polisi, bagi keinginan obyek (hawa nafsu,biologis, dan lain-lain) terdakwa, pesakitan, peserta didik, pada diri sendiri. Drijarkara (Drijarkara, 138) menyebut kemampuan tersebut dengan istilah “meng-aku”, yaitu kemampuan mengeksplorasi potensi-potensi yang ada pada aku, dan memahami potensi-potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat dikembangkan, sehingga aku dapat berkembang kearah kesempurnaan diri. Kenyataan seperti ini mempunyai implikasi pedagogis, yaitu keharusan pendidikan, untuk menumbuhkembangkan kemampuan meng-Aku-nya pada peserta didik. Dengan kata lain pendidikan diri sendiri yang oleh Langeveld disebut self forming perlu mendapat perhatian.
2). Kemampuan bereksistensi.
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan obyek, lalu melihat obyek itu  sebagai suatu peran, berarti manusia itu dapat menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitanya dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini (disini) dan waktu ini (sekarang), tetapidapat menembus ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “dimasa lampau”. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Dan dari kemampuan beeksistensi inilah manusia maka pada manusia terdapat unsure kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, melainkan “meng-ada” dimuka bumi (Drijarkara, 1962 : 61-63). Jika seandainya pada diri manusia ini tidak terdapat kebebasan, maka manusia itu tidak lebih dari hanya sekedar “esensi” belaka, yang berarti hanya sekedar “ber-ada” dan tidak pernah “meng-ada” atau “ber-eksistensi”. Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku makhluk infra human, dimana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia sebagai manager terhadap lingkunganya.
Kemampuan bereksistensi perlu dibina melalui pendidikan. Peserta didik diajar agar belajar dari pengalamanya, belajar mengantisipasi sesuatukeadaan dan peristiwa, belajar melihat prospek masa depan dari sesuatu, serta mengembangkan daya imajinasi kreatif sejak dari masa kanak-kanak.
3). Kata Hati (Conscience of Man).
Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “pengertian yang mengikuti perbuatan”. of Man artinya manusia memiliki pengertian yang menyertai tantang yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengenai juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia.
Dengan sebutan “pelita hati” atau “hati nurani” menunjukkan bahwa kata hati kita itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik dan buruknya perbuatannya sebagai manusia. orang yang tidak mempunyai pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang baik dan benar dan yang buruk dan salah ataupun kemampuan dalam mengambil keputusan tersebut hanya dari sudut pandang tertentu (misalnya sudut kepentingan diri), dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam.
Jadi, criteria baik/benar dan buruk/salah harus dikaitkan dengan baik/benar dan buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Drijarkara , menyebutnya dengan baik yang integral. Sering dalam mengambil keputusan orang kesulitan terutama jika harus mengambil keputusan antara yang baik dengan yang kurang baik, atau antara yang buruk dengan yang lebih buruk Kesulitanya, karena orang dihadapkan kepada sejumlah pilihan, untuk dapat memilih alternative mana yang terbaik, harus berhadapan dengan criteria serta kemampuan analisis yang perlu didukung oleh kecerdasan akal budi.Orang yang memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu mengananlisa dan mampu membedakan yang baik/benar dengan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia disebut tajam kata hatinya.
Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitanya dengan moral (perbutan), kata hati merupakan “petunjuk bagi moral/perbuatan”. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul menjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming). Realisasinya dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuanya agar orang memiliki keberanian moral (berbuat) yang didasari oleh kata hati yang tajam.
4). Moral.
Jika kata hati sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud moral (yang juga sering disebut etika ) adalah perbuatan itu sendiri. Disini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatanya merupakan realisasi dari kata hatinya itu. Sehingga banyak orang yang mempunyai kecerdasan akal tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian berbuat). Untuk menjembatani jarak yang memisahkan keduanya masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemauan.
Pendidikan moral juga sering disebut pendidikan kemauan, menurut M.J. Langeveld dinamakan De opvoedeling omzichzelfs wil. Dan yang dimaksud kemauan adalah kemauan yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, moral yang singkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi (luhur). Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang tajam ataupun merupakan realisasi dari kata hati yang tumpul disebut moral yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazimnya dikatakan tidak bermoral. Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi, serta segenap perbuatanya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut.
Moral bertalian erat dengan keputusan kata hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erat dengan nilai-nilai, maka sesungguhnya moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan etika biasanya dibedakan dari etiket, jika moral (etika) menunjukkan kepada perbuatan yang baik/benar ataukah yang salah, yang berperikemanusiaan atau yang jahat, maka etiket hanya berhubungan dengan soal sopan santun.
5). Tanggung Jawab.
Tanggung jawab adalah kesedian seseorang untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab. Wujud tanggung jawab bermacam-macam, ada tanggungjawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada masyarakat, dan tanggungjawab kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. Bertanggungjawab kepada masyarakat, berarti mananggung tuntutan norma-norma social, yang tuntutanya berbentuk sanksi-sanksi social seperti cemoohan masyarakat, hukuman penjara, dan lain-lain. Bertanggungjawab pada Tuhan berarti menanggung tuntutan norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa, dan terkutuk.
Hubungan antara kata hati, moral dan tanggungjawab adalah ketika kata hati memberi pedoman, maka moral melakukan dan tanggungjwab merupakan kesedian menerima konsekwensi dari perbuatan. Hubungan antara ketiganya bisa memperlihatkan kadar tingginya kesediaan betanggungjawab pada perbuatan yang sinkron dengan kata hati (kata hati yang tajam). Oleh sebab itu orang yang bersedia melakukan sesuatu karena paksaan (bertentangan dengan kata hati) sering tidak bersedia untuk memikul tanggungjawab atau akibat dari apa yang telah dilakukannya.
Dengan demikian, tanggungjawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh norma-norma agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini dapat disimpulkan, pendidikan  moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat adalah sangat penting.
6). Rasa Kebebasan.
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatanya ssaling bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” yang berarti ada ikatan. Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya adalah berlangsung dalam keterikatan, yang berarti bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiiwai segenap perbuatanya. Dengan kata lain, ikatan luar (yang membelenggu) telah berubah menjadi ikatan dalam (yang menggerakkan), pernyataan tersebut menunjukkan bahwa merdeka tidak sama dengan berbuat bebas tanpa ikatan, perbuatan bebas membabi buta tanpa memperhatikan petunjuk kata hati tersebut sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu, sebab hanya kelihatan bebas, tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan seperti itu akan segera disusul dengan sanksi-sanksinya.
Dengan kata lain, kebebasan tanpa ikatan adalah kebebasan yang akan diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru akan mengundang kegelisahan. Oleh karena itu apabila seorang pembunuh yang habis membunuh (perbuatan bebas tanpa ikatan) biasanya berupaya matian-matian menyembunyikan diri (rasa tidak merdeka). Dari keterangan ini dapat kita pahami, kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa merdeka apabila segenap perbuatanya (moralnya) sesuai dengan apa yang dikatakan oleh hatinya – yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia-, karena perbuatan seperti itu tidak sulit atau siap sedia untuk dipertanggung jawabkan dan tidak akan sedikitpun menimbulkan kekhawatiran (rasa ketidakmerdekaan).
Implikasi dan implementasi pedagogisnya adalah sama dengan pendidikan moral yaitu mengusahakan agar peserta didik dibiasakan menginternalisasi nilai-nilai, aturan-aturan kedalam dirinya, sehingga dirasakan sebagai miliknya. Dengan demikian aturan-aturan itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merintangi gerak hidupnya.
7). Kewajiban dan Hak.
Kewajiban dan Hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk social, yang berarti “yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain”, tidak ada hak tanpa kewajiban, jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu belum dipenuhi), sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya, pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong, artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahui (misalnya hak cuti tahunan), namun terlepas dari persoalan apakah hak itu diketahui atau tidak, digunakan atau tidak, dibalik itu tetap ada pihak yang berkewajiban untuk bersiap sedia memenuhinya.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari, umumnya hak diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai sesuatu beban. Benarkah kewajiban itu menjadi beban manusia ? Ternyata bukan beban melainkan sebuah keniscayaan (Drijarkara, 1978: 24-27), yang berarti selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai manusia, maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya, sebab jika mengelakkanya maka ia berarti mengingkari kemanusiaanya (yaitu sebagai kenyataan makhluk sosial).
Oleh karena itu, setiap orang yang semakin menyatu dengan dengan kewajiban, nilai, martabat manusia, maka semakin tinggi pula nilai seseorang tersebut dimata masyarakat. Dengan kata lain, menunaikan kewajiban adalah suatu keluhuran. Keluhuran ini tecermin dalam contoh berikut ini, seoraang guru dianggap berbudi luhur jika melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya sebagi guru (tanpa pamrih), seorang prajurit yang melaksanakan tugas (kewajiban) sepenuhnya dimedan perang adalah sesuatu perbuatan yang luhur.
Adanya keluhuran dari melaksanakan kewajiban itu menjadi lebih jelas lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang sebaliknya, yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang lain, dan lain sebagainya. Melaksanakan kewajiban berarti terikat kepada kewajiban, tetapi anehnya- yang sesungguhnya bukan keanehan- manusia memilihnya. Mengapa?  Sebabnya adalah karena melaksanakan kewajiban berarti meluhurkan diri sebagai manusia, atau merasa baru manusia bila mentaati kewajiban. Dengan demikian baru merasa lega, bebas atau merdeka.
Dilihat dari segi ini, wajib bukanlah “ikatan”, melainkan suatu keniscayaan. Karena kewajiban adalah keniscayaan, maka terhadapa apa yang diwajibkan manusia menjadi tidak merdeka, mau tidak harus menerimanya, tetapi terhadap keniscayaan itu sendiri manusia bias taat dan bias juga melanggar, ia merdeka untuk memilihnya dengan konsekwensinya, jika taat akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika melanggar akan merosot martabat kehidupannya sebagai manusia.
Realisasi hak dan kewajiban dalam prakteknya bersifat relative, disesuaikan dengan situasi dan kondisi, sebab tidak ada kewajiban untuk melaksanakan hal yang mustahil (yang berada diluar situasi/kondisi dan kemampuan). Hal ini dapat kita ketahui bagaiman realisasi hak asasi manusia atas pendidikan dan wajib belajar dinegara-negara yang sedang berkembang. Oleh karena itu, meskipun setiap warga berhak untuk menikmati pendidikan, tetapi jika fasilitas pendidikan yang tersedia belum bias memadai, maka oaring harus menerima keadaan realisasinya sesuai dengan situasi dan kondisi. Hak asasi manusia adalah hak secara asasi dimiliki oleh setiap insane serta sesuai dengan tuntutan kodrat manusia.
Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban, karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, yang berarti tidak seluruh hak dapat terpenuhi dan tidak segenap kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan, maka hak asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi-aspirasi, dan harapan-harapan yang berfungsi untuk memberi arah pada segenap usaha untuk menciptakan keadilan. Yang termasuk bagian dari hak asasi adalah demokrasi, persamaan gender, kesejahteraan umum, pendidikan dan sebagainya yang menjadi hak-haknya warga sipil yang miskin, dan bodoh.
Kemampuan mengahayati kewajiban sebagau keniscayaan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi tumbuh melalui suatu proses, usaha menumbuhkembangkan rasa wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin. Orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan disiplin dan tanggungjawab belum sepantasnya diberikan kepada anak-anak sejak masih usia dini adalah anggapan yang keliru. Dikarenakan benih-benih kedisiplinandan rasa tanggungjawab seharusnya mulai ditumbuhkembangkan sejak dini, ada pepatah yang mengatakan. “mengukir diatas air itu mudah tetapi akan cepat hilang tersapu ombak”. Pendidikan usia dini adalah melalui latihan kebiasaan (habit forming) khususnya mengenai hal-hal yang nantinya bersifat rutin dan dibutuhkkan didalam kehidupannya, Disiplin diri menurut Selo Soemardjan (wawancara TVRI, Desember 1990), meliputi empat aspek, yaitu :
  1. Disiplin rasional, yang bila terjadi pelanggaran menimbulkan rasa bersalah.
  2. Disiplin social, jika dilanggar menimbulkan rasa malu.
  3. Disiplin afektif, jika dilanggar menimbulkan rasa gelisah.
  4. Disiplin agama, jika terjadi pelanggaran menimbulkan rasa berdosa.
Keempat macam disiplin tersebut perlu ditanamkan pada peserta didik dengan disiplin agama sebagai titik tumpu.
8). Kemampuan menghayati Kebahagiaan.
Kebahagian adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan, dapat diduga, bahwa hampir setiap orang pernah mengalami rasa bahagia. Untuk menjabarkan arti istilah kebahagiaan sehingga cukup jelas dipahami serta memuaskan semua pihak sesungguhnya tidak mudah, ambilah misal tentang sebutan : senang, gembira, bahagia, dan sejumlah istilah lain yang mirip dengan itu, sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa senang atau gembira itulah sedang mengalami kebahagiaan.
Sebagian orang menganggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari kebahagian, sebab kebahagiaan sifatnya lebih permanent dari pada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain, kebahagiaan lebih merupakan integrasi atau rentetan dari sejumlah peristiwa (accident) kesenangan, atau mungkin ada yang lebih jauh lagi berpendpat bahwa kebahagiaan tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan dari pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu, merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasan, dan sejenisnya, dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi dari kesemuanya itu (yang menyenangkan maupun yang pahit) menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia”.
Peliknya persoalan mungkin juga disebabkan oleh karena kebahagiaan itu lebih dapat dirasakan jiwa (pure reason) dari pada dipikirkan (rasioanal). Pada saat orang menghayati kebahagiaan, aspek rasa lebih berperan dari pada aspek nalar,seperti salah satu ungkapan syair Arab “Soal iman, cinta, dan kasih sayang, jangan pernah bercampur dengan logika (rasional), agar perasaan jiwa (pure reasson) murni terasa”. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa kebahagiaan itu sifatnya irrasional, padahal kebahagiaan yang tampaknya didominasi oleh perasaan itu ternyata tidak demikian, karena aspek-aspek kepribadian yang lain seperti akal pikiran juga ikut berperan. Seseorang bisa menghayati kebahagiaan, jika ia mengerti tentang sesuatu yang menjadi obyek rasa bahagia itu, jadi orang yang sedang terganggu pikirannya atau tidak beres kesadaranya tidak akan sanggup menghayati kebahagiaan. Dari sini dapat dipahami bahwa penghayatan terhadap kebahagiaan itu juga didukung oleh aspek nalar (rasional) disamping aspek rasa jiwa (pure reasson).
Kepelikan lain yang timbul adalah apabila kebahagiaan itu dipandang sebagai suatu kondisi atau keadaan (yaitu kondisi emosi yang positif) disamping sebagai suatu proses. Dimuka telah diterangkan bahwa kebahagiaan merupakan integrasi pengalaman-pengalaman dari peristiwa-peristiwa yang menyenangkan dengan yang pahit, antara perasaan dan penalaran. Sehingga pengertian integrasi mencakup perpaduan proses dan hasilnya, sehingga persoalan menjadi lebih pelik lagi. Seperti rangkaian kejadian berikut yang didalamnya tercermin kebahagiaan, misalnya seseorang yang telah lulus dan mendapat gelar sarjana dengan predikat kelulusan yang baik, karena mencapai IPK ; 3,8 (kebahagiaan), lalu setelah itu dengan masa menunggu sekitar satu tahun (penderitaan) dapat diterima pada sebuah perusahaan kimia dengan gaji yang lumayan menggembirakan (kebahagiaan), setelah itu dua tahun dinas ia mendapat kecelakaan (penderitaan), karena mukanya terkena uap kimia yang menjadikan mukanya rusak dan kedua matanya buta (azab), ataupun cerita sebaliknya seperti ungkapan pantun ini, “Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian, bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian”.
Sebuah kesimpulan diatas dapat ditarik kesimpulan tentang kebahagian, bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaan sendiri secara factual (lulus sebagai sarjana, mendapat pekerjaan, dan seterusnya) ataupun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkanya, tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut didalam rangkaian atau ikatan tiga hal yaitu ; usaha, norma-norma, dan takdir.
Yang dimaksud usaha sadar adalah perjuangan yang terus menerus untuk mengatasi masalah hidup. Hidup dengan menghadapi masalah itulah realitas hidup, oleh karena itu masalah hidup harus dihadapi. Masalah hidup adalah sesuatu yang realitistis, obyektif, dan bukan sesuatu yang dibuat-buat, orang mengalami kebahagiaan bila bersedia menyerah kepada obyektifitas (Drijarkara). Kebahagiaan merupakan sesuatu yang realistis dan bukan dibuat-buat seperti, orang yang menderita sakit, tetapi ia tidak dapat mengatakan kepada orang lain bahwa ia bahagia, atau menunjukkan sikap atau lagak seoalah-olah bahagia. Selanjutnya usaha tersebut harus bertumpu pada norma-norma/kaidah-kaidah. Kebahagiaan adalah hidup tenteram, hidup tenteram terlaksana karena dalam hidup tanpa ada tekanan, itulah hidup merdeka.
Dimuka telah dijelaskan bahwa merdeka dalam arti yang sebenarnya, bukan berarti merdeka dalam arti bebas liar tanpa kendali yang justru mengundang keonaran dan akhirnya tekanan-tekanan, seseorang akan hanya merasa merdeka dalam arti yang sebenarnya bila tidak merasakan adanya belenggu ikatan-ikatan, paksaan-paksaan dari aturan-aturan (norma-norma), yakni apabila ia telah mrnyatukan diri dengan norma-norma kehidupan, sehingga kehidupanya dan segenap sepak terjangnya merupakan pancaran (personifikasi) dari norma-norma. Jadi kebahagiaan dicapai dengan penyatuan diri dengan norma-norma (kaidah-kaidah hidup), dilihat dari segi ini tampak pula bahwa kebahagiaan bersifat individual, karena derajat kebahagiaan tergantung kepada seseorang tersebut. Kebahagiaan juga mengandung sisi social, karena norma-norma/kaidah-kaidah hidup selalu bersifat social.
kemudian takdir, takdir merupakan rangkaian yang takterpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan, komponen takdir ini erat bertalian dengan komponen usaha, ada pepatah yang mengatakan “Manusia berusaha, Tuhan menyudahi”, yang harus diartikan bahwa istilah takdir baru boleh disebut adalah sesudah orang melaksanakan usaha sampai batas kemampuan, kemudian hasilnya – sepadan atau tidak dengan yang diinginkan – diterima dengan pasrah serta penuh ksyukuran, kebahagiaan hanya dapa diraih oleh mereka yang mampu bersyukur, untuk itu kemampuan menghayati sangat diperlukan.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatanya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan takdir. Dengan demikian pendidikan  mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya pendidikan moral keagamaan. Kebahagiaan adalah hasil perpaduan dari usaha, hasil takdir, dan kesediaan menerima atau mensyukuri dan menghayatinya.
Manusia adalah makhluk yang serba terhubung dengan masyarakat, lingkungan, dirinya sendiri, dan Tuhan. Beerling mengemukakan sinyalemen Heinemann, bahwa pada abad 20 manusia mengalami krisis total. Mengapa disebut demikian? karena yang dilanda krisis bukan hanya segi-segi tertentu dari kehidupanya sepeti krisis ekonomi, krisis energi, dan sebagainya, melainkan yang krisis adalah kemanusianya sendiri (Beerling, 1951:43). Dalam krisis total, manusia mengalami krisis hubungan dengan masyarakat, dengan lingkunganya, dengan dirinya sendiri, dan dengan Tuhan-nya, tidak ada pengenalan dan pemahaman yang seksama terhadap dengan apa atau siapa ia berhubungan, tidak ada kemesraan hubungan dengan apa atau siapa ia berhubungan, inilah bencana yang melanda manusia, sehingga manusia semakin jauh dari kebahagiaan.
Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia mau meningkatkan kualitas hubunganya sebagai makhluk yang memiliki kondisi serba terhubung dan dengan memahami kelebihan dan kekurangan-kekurangan diri sendiri, kelebihannya ditingkatkan dan kekurangannya diperbaiki. Sedangkan dengan lingkungan alam manusia dapat memanfaatkanya (mengeksplorasi) sembari peduli terhadap pelestarian dan pengembangan lingkungan. Dan terhadap Tuhan-nya manusia harus memahami ajaran-ajaran- Nya, serta mengamalkan-Nya, berikut macam hubungan manusia dengan lainya :
  1. Hubungan Konsentris adalah memahami kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
  2. Hubungan Horisentral 1 adalah perimabangan antara hak dan kewajiban.
  3. Hubungan Horisentral 2 adalah perimbangan antara mengeksploitasi dengan melestarikan.
  4. Hubungan Vertikal adalah pemahaman dan pengamalan nilai agama.
Dalam hubungan ini, pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk menghantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan, yaitu dengan jalan membantu mereka meningkatkan kualitas hubungan dengan dirinya, lingkunganya, dan Tuhan-nya. Manusia yang menghayati kebahagiaan adalah pribadi manusia dengan segenap keadaan dan kemampuannya. Manusia menghayati kebahagiaan apabila jiwanya bersih dan stabil, jujur, bertanggungjawab, mempunyai pandangan hidup dan berkeyakinan hidup yang kukuh dan bertekad untuk merealisasikan dengan cara yang realistis, demikian pandangan Max Scheler (Drijarkara, 19978; 137-140).
Disamping itu, kepribadiaan harus serasi dan beriimbang antara segenap aspek kepribadian terdapat perimbangan yang selaras, begitu juga antara kemampuan rohani dan jasmani, antara cipta, rasa, dan karsa, antara ciat-cita dengan kemampuan mencapainya, antara kemampuan berikhtiyar dengan kesediaan menerima hasilnya. Jiwa yang bersih stabil dan kepribadian yang selaras membuka kemungkinan bagi terciptanya suasana hidup penuh kedamaian. pendidikan dapat dimanipulasikan untuk membina terbentuknya kepribadian yang utuh.